Minggu, 04 Juli 2010

Menuju Gerakan Profetik

Gegap gempita kemajuan ilmu pengetahuan sedikit demi sedikit mulai menyingkap ayat-ayat Tuhan di alam semesta, mulai mikro kosmos hingga makro kosmos. Di penghujung milenium ketiga, tiga revolusi ilmu pengetahuan telah membawa perubahan signifikan dalam kehidupan manusia; konsep relativitas, rekayasa kuantum, dan biologi molekular.

Kemajuan ilmu pengetahuan tidak serta merta membawa kebahagiaan pada umat manusia. Penyelewengan sosial-ekonomi ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjungkirbalikan nilai manfaat itu. Maka, perlu kiranya kita merenungkan kembali hakikat dari ilmu pengetahuan sebelum semakin tersesat dalam arus kapitalisme global.

Menuju Gerakan Intelektual Profetik

Kini, umat Islam dihadapkan dengan idealitas yang jauh dari realitas, ilmu hanya ramai di ruang-ruang diskusi, kajian, dan seminar.
Gerakan Islam telah gagal menjadikan ilmu-ilmu Islam sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi umat Islam. Kita hanya menyerahkan perkembangan sejarah umat kepada ilmu-ilmu normatif. Ilmu-ilmu sosial yang kita kembangkan hanya membuat orang terasing dengan dirinya.

Tradisi normatif, tradisi idealogis, dan tradisi ilmiah adalah tiga tradisi keilmuan yang mesti diberi perhatian. Komitmen tradisi normatif ialah dakwah, komitmen tradisi idealogis ialah politik, dan komitmen tradisi ilmiah ialah ilmu. Paradigma baru itu harus mempunyai komitmen baru, yaitu bersifat ummatik (masyarakat dan bangsa). Paradigma baru itu akan kita sebut Ilmu Sosial Profetik (kenabian).

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah…” (Surah Ali Imran : 110)

Ada tiga unsur yang harus dipahami dalam ilmu sosial profetik berdasarkan ayat tersebut. Pertama, humanisasi (amal ma’ruf). Humanisasi bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai manusia sesuai fitrahnya, karena saat ini manusia mengalami dehumanisasi akibat indistrialisasi dan globalisasi ekonomi. Kedua, Liberasi/pembebasan (nahyi munkar). Pembebasan umat dari penindasan dan kekejaman tirani ekonomi politik, kengakuhan teknologi, dan pembelengguan pikiran. Ketiga, transendensi (tu’minuna billah). Mendamaikan hubungan manusia dengan Tuhan. Rekonstruksi pemikiran gerakan Islam berdasarkan ilmu sosial profetik akan melahirkan sebuah gerakan intelektual.

Memaksimalkan Potensi Intelektual Muda

Arus kapitalisme global dan perang pemikiran telah membuat mahasiswa yang bersifat pragmatis. Mereka berlomba-lomba menyelesaikan masa studinya. Sementara itu jiwanya ringkih akibat tidak tertempa oleh kepekaan dan aktivitas sosial. Kita dihadapkan pada sosok generasi yang masa bodoh terhadap permasalahan bangsanya.
Maka, harapan munculnya genarasi muda yang progresif akan lahir dari aktivis mahasiswa yang bergelut di organisasi kemahasiswaan. Namun, apakah harapan ini terlihat besar mengingat kaum muda terdidik tersebut mulai terjebak dan tenggelam dalam lingkungan yang membuatnya pragmatistik?

Pada sisi lain sebagian aktivis mahasiswa tersebut terjebak dalam oportunisme. Ketika pesona ekonomi-politik telah mengalahkan idealismenya. Pada hal lain lagi para aktivis ini diserang virus keputusasaan dalam perjuangan melihat realitas yang jauh dari idealisme mereka.

Inilah alamat kematian bagi yang masih hidup, ketika gairah dan progresifitas meredup. Maka, harapan munculnya genarasi muda yang progresif akan lahir dari aktivis mahasiswa yang bergelut di organisasi kemahasiswaan.
Mengembalikan progresifitas kaum muda harus dimulai dari sarang potensial tempat mereka berkumpul, yaitu kampus. Organisasi/gerakan mahasiswa Islam harus mampu membaca zaman untuk mengembalikan tradisi intelektual yang membawa misi profetik (kenabian). Kaum intelektual menggunakan ilmunya untuk melakukan kritik sosial. Loyalitas tertinggi intelektual adalah untuk masa depan umat (rakyat,bangsa) , tidak pada elit kekuasaan dan bisnis.

Untuk mendobrak kebekuan gerakan intelektual kaum muda, maka perlu dilakukan pembongkaran. Ada dua hal yang harus dilakukan dalam pelaksanaan pembongkaran tersebut.

Pertama, pembongkaran teologis. Perlu dilakukan perubahan paradigma berpikir mahasiswa. Selama ini kesalehan hanya dipersepsikan sebagai ketundukan kepada Tuhan melalui serangkaian ibadah ritual. Kesalehan ‘langit’ seperti ini tidak relevan jika digunakan untuk perubahan sosial masyarakat. Maka perlu ditambahkan lagi teologi dan kesalehan yang diarahkan ke ‘bumi’. Bukankah salah satu misi manusia adalah menjadi khalifah untuk melestarikan dan memakmurkan bumi. Iman dan amal saleh merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Kedua, aksi sosial. Konsekuensi dari teologi yang berorientasi sosial adalah adanya keterlibatan yang total dalam perjuangan dan aktivitas sosial. Sebab pembongkaran di wilayah teologis saja tidaklah cukup. Di sana juga dibutuhkan tingginya kadar konsistensi dan ketabahan dalam berjuang melawan tatanan sosial yang timpang.
Kini sinergi antar keduanya, pembaruan teologi dan aktivisme sosial, juga perlu dimiliki oleh kaum muda untuk mengatasi krisis integritas, keloyoan dalam berjuang, dan menggejalanya pragmatisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar